Selasa, 29 Oktober 2013

:)

Ketika suatu saat dirimu akan menikah dgn seseorang , ataupun saat ini kau sdah terikat dlam sebuah pernikahan. Tentunya pernikahan itu melewati proses AKAD-NIKAH bukan?Yang intinya berbunyi ;''aku terima nikahnya si dia binti ayah si dia dengan Mas Kawinnya ,,,,,,,''Singkat, padat dan jelas. Tapi tahukan makna 'perjanjian/ikrar'' tersebut ?
Ini diaa -->''maka aku tanggung dosa2nya si dia dari ayah dan ibunya, dosa apa saja yg telah dia lakukan, dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan sholat. Semua yg berhubungan dgn si dia, aku tanggung dan bukan lagi orang

tuanya yg menanggung, serta akan aku tanggung semua dosa calon anak2ku''.Jika aku GAGAL?''maka aku adalah suami yang fasik, ingkar dan aku rela masuk neraka, aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur tubuhku''.(Hadist Riwayat Muslim)Duhai para istri,,Begitu beratnya pengorbanan suamimu terhadapmu, karena saat Ijab terucap, Arsy_Nya berguncang karena beratnya perjanjian yg di buat oleh manusia di depan ROBB nya, dgn di saksikan para malaikat dan manusia, maka andai saja kau menghisap darah dan nanah dari hidung suamimu, maka itupun belum cukup untuk menebus semua pengorbanan suami terhadapmu.

:)

Ketika suatu saat dirimu akan menikah dgn seseorang , ataupun saat ini kau sdah terikat dlam sebuah pernikahan. Tentunya pernikahan itu melewati proses AKAD-NIKAH bukan?Yang intinya berbunyi ;''aku terima nikahnya si dia binti ayah si dia dengan Mas Kawinnya ,,,,,,,''Singkat, padat dan jelas. Tapi tahukan makna 'perjanjian/ikrar'' tersebut ?
Ini diaa -->''maka aku tanggung dosa2nya si dia dari ayah dan ibunya, dosa apa saja yg telah dia lakukan, dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan sholat. Semua yg berhubungan dgn si dia, aku tanggung dan bukan lagi orang

tuanya yg menanggung, serta akan aku tanggung semua dosa calon anak2ku''.Jika aku GAGAL?''maka aku adalah suami yang fasik, ingkar dan aku rela masuk neraka, aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur tubuhku''.(Hadist Riwayat Muslim)Duhai para istri,,Begitu beratnya pengorbanan suamimu terhadapmu, karena saat Ijab terucap, Arsy_Nya berguncang karena beratnya perjanjian yg di buat oleh manusia di depan ROBB nya, dgn di saksikan para malaikat dan manusia, maka andai saja kau menghisap darah dan nanah dari hidung suamimu, maka itupun belum cukup untuk menebus semua pengorbanan suami terhadapmu

Sabtu, 26 Oktober 2013

Senyum Itu Bukan Ibadah


Suatu ketika saya berkunjung ke rumah sakit. Saya lupa untuk tujuan apa waktu itu. Kemungkinan besar untuk menengok seseorang yang sedang sakit. Saya bilang kemungkinan besar karena saya termasuk orang yang jarang pergi berobat, termasuk berobat ke rumah sakit. Lagipula kan memang tidak ada keharusan untuk seseorang pergi berobat ke rumah sakit. Presiden aja kalo sakit nggak berobat ke rumah sakit kok. Malah orang rumah sakit yang ke rumah presiden. Jadi kan memang tidak harus. Yang ada cuma anjuran. Anjuran itu tidak harus. Kalau anjuran itu harus berarti namanya bukan anjuran. Namanya wajib. Seperti wajib militer misalnya. Wajib militer berarti keharusan untuk jadi militer. Makanya semua orang jadi nurut, kecuali Muhammad Ali. Kenapa beliau itu nggak mau nurut?. Mana saya tahu soal itu.
Waktu di rumah sakit saya bertemu dengan seseorang. Bukan. Bukan Muhammad Ali kok. Muhammad Ali di Amerika. Saya ke rumah sakit di Indonesia. Nggak mungkin mas Muhammad Ali mau ke rumah sakit Indonesia. Tapi di rumah sakit itu ada yang menempelkan pin di dadanya. Sebuah pin dengan tulisan senyum kami dari hati. Wah saya jadi bertanya-tanya, tentu kepada diri saya sendiri. Apakah mereka sedang menyindir saya? Apa mereka mengira senyum saya nggak dari hati?. Karena tadi saya bertanya-tanya kepada diri sendiri ya saya jawab sendiri juga.
sama dong kita. Senyum akyu juga dari hati lho.
Begitu jawaban saya. Pasti orang itu nggak dengar. Pasti itu. Tapi setidaknya dia lihat saya tersenyum. Saya mau beribadah, makanya saya tersenyum. Lumayanlah. Saat itu saya pasti dapat pahala.
Ini soal senyum adalah ibadah. Ini kan sebetulnya sebuah ungkapan filosofis yang menandakan kerelaan kita untuk membuka diri terhadap kemungkinan komunikasi dengan orang lain di sekitar kita. Menyimpan senyum berarti juga menutup kemungkinan komunikasi sosial. Selain sebagai ungkapan, ini juga anjuran, semacam tindak lanjut dari fitrah kesosialan manusia sebagaimana disyaratkan oleh agama-agama besar di dunia.
Senyum itu dahsyat lho. Sejauh ini, belum pernah saya mendengar seseorang mengeluh atau mengalami kesulitan bergaul karena senyumnya meski pada suatu waktu senyum tentu saja juga berpotensi jadi masalah kalau ditempatkan dalam situasi yang kurang pas, misalnya ketika calon mertua jatuh terpeleset di hadapan kita dengan hidung mendarat duluan di lantai atau atasan di kantor terjerembab dari kursi kerjanya lantaran terlalu dalam menyandarkan punggungnya padahal ia baru saja mengusulkan promosi buat kita. Kalau untuk dua sebab ini anda masih sanggup tersenyum, kesimpulan saya anda pasti orang yang sangat senang mengambil resiko yang tidak perlu sekalipun.
Di zaman yang sudah banyak berdaptasi dengan berbagai konvensi sosial seperti sekarang ini (maafkan bahasa saya), ungkapan senyum adalah ibadah ibarat anjuran usang yang telah ditinggalkan makna fundamentalnya. Yang sering kita temukan hari ini, justru sebuah kehendak baru yang meletakkan senyum sebagai sebuah aturan. Di masa kini, senyum adalah aturan marketing. Senyum juga adalah aturan kepegawaian dan kekaryawanan.
Senyum bahkan telah mampu menggerakkan syaraf psikomotorik kita agar mengambil suatu keputusan yang, entah itu penting atau tidak, cukup bisa berpengaruh dalam kelangsungan prosesi hidup kita di menit berikutnya. Seorang sales promotion girl (SPG) yang datang dan menyapa kita sambil menawarkan rokok dengan senyuman terbaiknya hari itu dapat dengan seketika mempengaruhi kita. Inilah kan senyum marketing. Begitupun kalau kita suatu saat sedang bermalam di hotel atau belanja di mall. Sejak di pintu depan, kita akan langsung disambut senyuman terbaik karyawannya hari itu. Sungguh. Senyum itu bukan ibadah. Bah, saya nggak mau senyum seperti ini. Pasti nggak dapat pahala. Paling banter ya dapat tip. Kalau lebih beruntung lagi ya kemungkinan dapat kenalan baru. Tapi buat apa dapat kenalan baru kalau nggak berpahala ya?. Iya. Mungkin itu juga sebabnya sekarang muncul buku yang judulnya agak mengajak kita atau tepatnya mengompori -ah jangan pakai kata ini nanti diartikan memberi kompor- menghasut kita secara intelektual untuk tidak jadi karyawan seumur hidup kita. Nah, mungkin yang membuat buku ini yang malah dapat pahala. Sudah ah. Sudah terlalu banyak kata mungkin yang saya tulis. Nanti malah tulisan ini mungkin kelihatan cerdas. 

http://arungnala.blogdetik.com/index.php/category/tak-berkategori/

Belajar


Saya Belajar...
Bahwa Saya Tidak Dapat Memaksa Orang Lain Untuk Mencintai Saya
Saya Hanya Dapat Melakukan Sesuatu Untuk Orang Yang Saya Cintai..

Saya Belajar...
Bahwa Butuh Waktu Bertahun-Tahun Untuk Membangun Kepercayaan 
Dan Hanya Dalam Beberapa Detik Saja Untuk Menghancurkannya..

Saya Belajar...
Bahwa Jika Seseorang Tidak Menunjukkan Perhatian Seperti Yang Saya Inginkan
Bukan Berarti Dia Tidak Mencintai Saya..

Saya Belajar...
Bahwa Sebaik-Baiknya Pasangan Itu, Mereka Pernah Melukai Perasaan Saya
Untuk Itu Saya Harus Memaafkannya..

Saya Belajar...
Bahwa Tidak Ada Yang Serba Cepat Di Dunia Ini
Semua Butuh Proses Dan Pertumbuhan, Kecuali Saya Ingin Sakit Hati..

Saya Belajar...
Bahwa Tidaklah Penting Apa Yang Saya Miliki
Tapi Yang Penting Adalah Siapa Saya Ini Sebenarnya..

Saya Belajar...
Bahwa Saya Harus Belajar Mengampuni Diri-Sendiri Dan Orang Lain..

Saya Belajar...
Bahwa Saya Harus Memilih Apakah Menguasai Sikap Dan Emosi 
Atau Sikap Dan Emosi Itu Yang Menguasai Diri Saya..

Saya Belajar...
Bahwa Saya Punya Hak Untuk Marah
Tetapi Itu Bukan Berarti Saya Harus Benci Dan Berlaku Bengis..

Saya Belajar...
Bahwa Kata-Kata Manis Tanpa Tindakan 
Adalah Saat Perpisahan Dengan Orang Yang Saya Cintai..

Saya Belajar...
Bahwa Orang-Orang Yang Saya Kasihi Justru Sering Diambil Segera Dari Kehidupan Saya.. 

Dan Untuk Itu Saya Harus Belajar.. Belajar.. Dan Terus Belajar..

Belajar sahabat dalam cinta yang sederhana

Benarkah sahabat adalah seseorang yang hadir dan memberikan support ketika musibah menimpa kita? Mungkin itusalah satu parameter. Karena sahabat juga orang yang dengan kasih sayang justru menyampaikan kritik, melarang kita melakukan sesuatu, mengingatkan hal-hal b uruk yang akan terjadi…sekalipun langkah yang kita tempuh sangat kita sukai.
Apa pula makna cinta?
Ada orang mengatakan bahwa cinta itu adalah semacam pengorbanan. Saya kira itu salah, jika seseorang harus menjadi tumbal bila ingin cinta ters berlangsung. Cinta itu mungkin adalah pemberian tanpa pamrih, tidak memaksakan kehendak, dan upaya terus-menerus menggali pengetahuan tentang kesukaan pasangan kita. Separuh dari ego kita lebur untuk menerima ego pasangan kita. Menggodoknya menjadi kepentingan bersama. Namun disana juga ada privasi yang tak perlu kita langgar, karena pada dasarnya masing-masing pribadi itu unik dan Tuhan telah memberikan anugerah kemerdekaan kepada masing-masing kita. Kesetiaan mungkin menjadi pengikat, bahwa di antara kita tidak akan saling berkhianat
Cinta jadi berat ketika kita tidak menerima apa adanya dari pasangan kita. Tak ada yang sempurna di dunia ini, oleh sebab itu hidup ini jadi menarik, tidak membosankan. Teruslah memandang sisi positif dari pasangan kita untuk dikembangkan. Berikan sisi positif kita kepadanya. Jadilah sinergi. Alat yang paling utama ternyata komunikasi. Biasanya kita gagal karena kurang atau salah komunikasi.

Dari semua hal ini..

Dari semua hal ini aku sangat setuju bahwa
"Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa saja, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu utuk siapa"

SEORANG WANITA & JUS MANGGA....cerpen Agus Noor

AU akan mengenali wanita dari caranya mengupas buah-buahan. Setelah menyelesaikan cerita ini, kau akan mengerti apa yang kumaksudkan.
Ia menatapku, sambil pelan-pelan mengupas mangga. Matanya lebih berkilat dari pisau di tangannya. Gerakan tangannya yang mengupas kulit mangga begitu senyawa dengan nafasnya. Ia mengupas penuh penghayatan. Perhatikan, katanya, beginilah cara terbaik mengupas kepala orang yang kau cintai. Bisakah kau bayangkan, kesakitan seperti apa ketika kulit kepalamu perlahan-lahan dikelupas?
Aku tertawa.
“Suatu hari, mungkin aku akan menguliti kepalamu, seperti aku mengupas mangga ini,” katanya. “Aku akan memulainya dari ubun-ubunmu…”
Wanita memang memang selalu berbahaya, karna kita tak pernah tahu apa yang dipikirkannya. Ia seperti ingin memperlihatkan pelajaran terbaik untuk mengenali perasaan wanita melalu caranya mengupas. Jangan hanya memerhatikan tangan yang mengupas, katanya, tapi perasaan yang disembunyikannya. Seorang wanita bisa menutupi perasaannya dengan senyuman paling manis, tapi tidak ketika ia sedang mengupas buah. Aku tahu ini dari ibu, katanya.
Ibuku cantik, tapi dapur yang pengap dan berantakan itu telah memudarkannya. Aku tak pernah tahu kenapa ibu mau menghabiskan kecantikannya di dapur. Aku pulang sekolah sore itu, ketika mendapati ibu sedang mengupas mentimun. Ia mengupas dengan pelan, tetapi geram. Aku memperhatikan sorot matanya yang tajam, seolah mentimun itu tubuh yang ingin dirajam. Aku melihat memar di bawah mata kiri ibu. Seperti bekas pukulan atau hantaman. Ayah tak ada di rumah, tapi dari jaket yang tergeletak di lantai aku tahu ayah baru saja datang dan telah kembali minggat. Rumah bukanlah tempat yang membuat ayah betah. Ia menghabiskan seluruh waktunya di luar, entah apa yang dikerjakannya. Hanya sesekali nongol di rumah untuk ganti baju, berteriak-teriak memaki ibu dan menghajarnya. Laki-laki sepertinya tak membutuhkan alasan untuk marah-marah. Itu tahun-tahun di mana aku selalu sembunyi di bawah kolong tempat tidur setiap kali ayah menghajar ibu.
Ibu tak terisak, tetapi aku melihat airmata merebak di matanya. Seperti kalau kita mengupas bawang merah. Ibu memandangi mentimun yang selesai dikupasnya. Lalu dengan cepat mencacah-cacahnya.
Kau tahu? Saat itu ibu mencacah-cacah lebih cepat dari bayangannya…
Begitulah aku mulai mengetahui sesuatu yang mampu disembunyikan wanita dengan rapi dalam perasaannya. Penderitaan membuat wanita semakin kuat. Kesedihan tak pernah membuat wanita kehilangan harapan. Kau tak akan pernah bisa menyanka apa yang bisa dilakukan oleh wanita yang bertahun-tahun hidup dalam ketakutan. Tapi aku tahu dari cara ibu mengupas mentimun sore itu.
Ayah pulang suatu malam. Seperti biasanya, ia begitu berantakan. Aku mendengar ayah memaki-maki ibu dalam kamar. Mungkin karna kecapean memaki-maki, akhirnya tak kudengar lagi suara ayah. Mungkin juga ayah berhenti memaki karna ia sudah birahi. Aku mendengar dengus nafasnya. Suara gedebag-gedebug yang membuatku ingin muntah. Terbayang ibu yang telentang diam sementara ayah dengan kasar menyetubuhinya. Kesunyian setelahnya terasa begitu mengerikan.
Aku bangun pagi itu dan hendak berangat sekolah ketika kudapati ibu sedang mencuci pisau di dapur. Ada irisan apel di meja, ditata rapi di atas piring. Ibu hanya memandangku. Ia memang jarang bicara. Dan tak pernah lagi bicara soal ayah sejak itu. Aku melihat tas plastik hitam di dekat meja. Diikat kuat. Seolah ibu tak ingin siapa pun tahu apa isinya.
Ayah tak pernah kelihatan sejak pagi itu. Belakangan aku tahu, ada bekas tanah yang digali di belakang rumah.
Aku menelan ludah.
“Pisau menjadi lebih berbahaya di tangan wanita yang kau sangka lemah,” katanya, sembari menyentuhkan ujung pisau itu tepat di belakang telingaku.
“Aku mungkin akan memotong telingamu lebih dulu.
Kelakar adalah jalan terbaik untuk mengatasi kegugupan. Makanya aku menjawab, “Tak pernah kudengar seorang wanita memotong telinga laki-laki yang dibenci atau dicintainya. Wanita lebih suka memotong bagian lain dari laki-laki…”
Ia mendengus dan menekankan pisau itu lebih kuat, di lekuk belakang telingaku. Aku memejam. Membayangkan jari lentik berkutek merah itu mengiris telingaku. Aku merasakan nafasnya yang hangat. Dan, brengsek, bau tubuhnya yang segar malah membuatku terangsang. Tiba-tiba terbayang buah dadanya yang lebih ranum dari mangga itu. Aku mencoba menguasai diri, dan tersenyum.
“Kenapa tersenyum?”
“Tak apa,” jawabku, masih mencoba berkelakar, “mati dengan kepala disayat perempuan cantik, pastilah jauh lebih menyenangkan ketimbang ditabrak truk.”
“Seperti persetubuhan, pembunuhan kadang tidak memerlukan alasan. Lebih karna gairah.” Lalu ia mengecupku pelan. Seperti kecupan kematian. Dan aku merasa terperangkap dalam kecupan itu.
Seperti kelinci yang menyerah untuk disembelih…
Tapi ini soal menguasai pikiran, batinku. Laki-laki berpetualang karena meuja tubuh. Wanita menyukai petualangan pikiran. Itu sebabnya wanita bisa lebih berbahaya. Karena kesakitan terasa lebih pedih dalam pikiran.
Wanita akan takluk bila kamu mampu melumpuhkan pikirannya, aku mencoba menenangkan diri. Ia mungkin sudah merancang dan membayangkan ini: menyiksaku perlahan-lahan dalam permainan yang memuaskan pikiran liarnya. Ada wanita yang menikmati kesakitan dalam persetubuhan. Kesakitan adalah orgasme pikiran. Memotong telinga laki-laki mungkin sebuah kepuasan tersendiri.
“Aku mengenal banyak laki-laki seperti kamu…”
Suaranya begitu lembut.
***
SUARANYA tidak terdengar membujuk, tapi memikat. Suara wanita yang ketika kau mendengarnya, tak akan mungkin kau abaikan. Seperti ketika malam itu ia menelponku. Kupikir salah sambung, karena momer itu tak kukenal. Ternyata ia memang ingin bertemu. “Akan kuceritakan sebuah kisah untukmu, sembari mengupas mangga..”
Bagaimana mungkin kau mengabaikan suara wanita yang begitu sendu di telepon saat tengah malam seperti itu?
Kami bertemu sesuai janji. Ia seperti kebanyakan perempuan cantik dan wangi yang lalu-lalang di mal Jakarta. Semampai, berambut lurus sebahu dengan kulit putih yang bisa membuat iri para wanita. Aku yakin alis matanya yang rapi sudah tersentuh salon. Matanya yang bersih dan bening mengingatkanku pada mata boneka yang tak mengenal kesedihan. Tapi ada satu hal yang memikat: misterinya.
Ia muncul menenteng tas belanjaan, berisi buah mangga, yang katanya, sengaja dibelinya sebelum menemuiku. Kubayangkan ini akan menjadi petualangan yang menyenangkan: ia mengiris mangga itu menjadi potongan-potongan kecil, kemudian ia berbaring telanjang di atas meja, meletakkan irisan mangga itu di atas tubuhnya, dan memintaku untuk menikmatinya…
“Aku bisa menduga apa yang kamu bayangkan tentang buah mangga ini,” katanya. “Pikiran laki-laki selalu gampang ditebak bila soal wanita. Tidak begitu dengan wanita,” ia mengerdipkan mata.
“Pikiran liar wanita memang jauh lebih sexy dari kecantikannya,” kataku.
Ia tertawa.
***
IA tinggal di apartemen, dengan anjing kecil berbulu putih. Anjing itu langsung menyalak ketika melihatku.
“Pasti cemburu,” katanya mengusap kepala anjing itu. “Ini anjing jantan. Pejantan selalu cemburu pada pejantan!” Anjing itu diam ketika ia memberinya sepotong keju. Ia mengoleskan mentega ke piring poselin, dan anjing itu langsung menjilatinya.
“Orang bijak mengatakan: mendidik anjing lebih mudah, dari pada mendidik laki-laki,” katanya. “Dan saya percaya. Andai laki-laki bisa dididik patuh seperti itu…” Ia melirik ke arahku. “Sekarang, duduklah,” ia menujuk sofa. “Akan kukupas mangga ini. Dan setiap satu mangga terkupas, aku akan melepas pakaianku.”
Lalu ia mulai mengupas. Sambil pelan bercerita. Banyak wanita suka bercerita, pastilah ia salah satunya. Ada wanita yang suka sekali bercerita, agar kau terpikat mendatangi ranjangnya. Ada wanita yang suka sekali bercerita ketika engkau sudah berada di ranjangnya. Apa yang diceritakannya, biarklah kukisahkan nanti. Kini, aku lebih memperhatikan silhuet tubuhnya. Ia membiarkan penutup jeleda terbuka. Aku seperti menyaksikan sebuah panel komik dimana bayangan seorang wanita terlihat berdiri dengan latar belakang kota penuh gedung-gedung menjulang gemerlap oleh cahaya.
Satu buah mangga selesai dikupasnya, dan ia dengan gerakan anggun melepas gaunnya.
Tak ada sentuhan. Tak boleh menyela apa yang diceritakannya. Aku hanya boleh duduk diam menyaksikannya mengupas mangga sambil bercerita.
Lalu satu buah mangga lagi selesai ia kupas, dan ia melepas kutangnya.
Ia mengunyah potongan mangga yang barusan diirisnya (rasanya seperti potongan telingaku yang dikunyahnya) dan apa yang diceritakannya membuat aku mulai gelisah.
Satu buah mangga lagi terkupas, dan ia melepas celananya…
Bila ini permainan yang diinginkan, aku berusaha menikmatinya, sebelum sampai pada yang membuatku begitu gugup – sebagaimana yang sudah kuceritakan di depan – ketika ia menyentuhkan ujung pisau itu ke telingaku.Seperti ahli bedah, dengan pisaunya ia akan membuat garis melintang mengitari kepalaku. Itulah cara terbaik memulai mengupas kulit kepala.
Ia mendekatkan bibirnya ke bibirku. Ciumlah, bisiknya.  Birahi dan kengerian, membuat ciumannya lebih mendebarkan. Ketika tanganku menyentuh pahanya, ia beringsut.
“Cukup untuk malam ini,” ia tersenyum licik. “Pulanglah…”
Aku menarik nafas panjang.
***
KETIKA aku keluar pintu apartemennya, kudengar anjing itu terus menyalak. Ini akan jadi malam tanpa persetubuhan yang tak akan terlupakan. Kini, seperti yang kujanjikan, kuceritakan padamu apa yang tadi ia ceritakan.
Ia bercerita tentang seorang istri yang begitu mempercayai suaminya sebagai laki-laki setia. Istri itu percaya, bahwa cinta bisa dipertahankan dengan kesetiaan. Tapi akhirnya ia tahu, mempercayai laki-laki sama saja dengan mempercayai nasib buruk. Lalu istri itu membuat perjanjian dengan suaminya: siapa yang tak setia, akan dipotong jarinya.
“Kau pasti sudah menebaknya,” katanya. “Istri itu akhirnya tahu, suaminya tak setia. Maka ia pun memotong jari manis lelaki itu.
Suatu pagi, si suami melihat istrinya mengupas mangga. Lalu si istri menyajikan jus mangga itu untuk suaminya.
“Ini jus mangga paling enak,” kata suaminya mesra.
Kau tahu, jari yang dipotong itu tak dibuang atau disimpan sebagai kenang-kenangan. Tapi dimasukkan dalam blender. Bayangkan, potongan jari yang diblender dan dicampur mangga, menjadi jus. Suami itu tak pernah mengetahuinya.
 ***
DI taksi, dalam perjalanan pulang, aku memejam mengingat cerita wanita itu. Tanpa sadar tanganku meraba jari manisku, yang tak ada.
Jakarta, 2013
*Cerpen ini pertama kali terbit di majalah Esquire, September 2013