Sabtu, 26 Oktober 2013

SEORANG WANITA & JUS MANGGA....cerpen Agus Noor

AU akan mengenali wanita dari caranya mengupas buah-buahan. Setelah menyelesaikan cerita ini, kau akan mengerti apa yang kumaksudkan.
Ia menatapku, sambil pelan-pelan mengupas mangga. Matanya lebih berkilat dari pisau di tangannya. Gerakan tangannya yang mengupas kulit mangga begitu senyawa dengan nafasnya. Ia mengupas penuh penghayatan. Perhatikan, katanya, beginilah cara terbaik mengupas kepala orang yang kau cintai. Bisakah kau bayangkan, kesakitan seperti apa ketika kulit kepalamu perlahan-lahan dikelupas?
Aku tertawa.
“Suatu hari, mungkin aku akan menguliti kepalamu, seperti aku mengupas mangga ini,” katanya. “Aku akan memulainya dari ubun-ubunmu…”
Wanita memang memang selalu berbahaya, karna kita tak pernah tahu apa yang dipikirkannya. Ia seperti ingin memperlihatkan pelajaran terbaik untuk mengenali perasaan wanita melalu caranya mengupas. Jangan hanya memerhatikan tangan yang mengupas, katanya, tapi perasaan yang disembunyikannya. Seorang wanita bisa menutupi perasaannya dengan senyuman paling manis, tapi tidak ketika ia sedang mengupas buah. Aku tahu ini dari ibu, katanya.
Ibuku cantik, tapi dapur yang pengap dan berantakan itu telah memudarkannya. Aku tak pernah tahu kenapa ibu mau menghabiskan kecantikannya di dapur. Aku pulang sekolah sore itu, ketika mendapati ibu sedang mengupas mentimun. Ia mengupas dengan pelan, tetapi geram. Aku memperhatikan sorot matanya yang tajam, seolah mentimun itu tubuh yang ingin dirajam. Aku melihat memar di bawah mata kiri ibu. Seperti bekas pukulan atau hantaman. Ayah tak ada di rumah, tapi dari jaket yang tergeletak di lantai aku tahu ayah baru saja datang dan telah kembali minggat. Rumah bukanlah tempat yang membuat ayah betah. Ia menghabiskan seluruh waktunya di luar, entah apa yang dikerjakannya. Hanya sesekali nongol di rumah untuk ganti baju, berteriak-teriak memaki ibu dan menghajarnya. Laki-laki sepertinya tak membutuhkan alasan untuk marah-marah. Itu tahun-tahun di mana aku selalu sembunyi di bawah kolong tempat tidur setiap kali ayah menghajar ibu.
Ibu tak terisak, tetapi aku melihat airmata merebak di matanya. Seperti kalau kita mengupas bawang merah. Ibu memandangi mentimun yang selesai dikupasnya. Lalu dengan cepat mencacah-cacahnya.
Kau tahu? Saat itu ibu mencacah-cacah lebih cepat dari bayangannya…
Begitulah aku mulai mengetahui sesuatu yang mampu disembunyikan wanita dengan rapi dalam perasaannya. Penderitaan membuat wanita semakin kuat. Kesedihan tak pernah membuat wanita kehilangan harapan. Kau tak akan pernah bisa menyanka apa yang bisa dilakukan oleh wanita yang bertahun-tahun hidup dalam ketakutan. Tapi aku tahu dari cara ibu mengupas mentimun sore itu.
Ayah pulang suatu malam. Seperti biasanya, ia begitu berantakan. Aku mendengar ayah memaki-maki ibu dalam kamar. Mungkin karna kecapean memaki-maki, akhirnya tak kudengar lagi suara ayah. Mungkin juga ayah berhenti memaki karna ia sudah birahi. Aku mendengar dengus nafasnya. Suara gedebag-gedebug yang membuatku ingin muntah. Terbayang ibu yang telentang diam sementara ayah dengan kasar menyetubuhinya. Kesunyian setelahnya terasa begitu mengerikan.
Aku bangun pagi itu dan hendak berangat sekolah ketika kudapati ibu sedang mencuci pisau di dapur. Ada irisan apel di meja, ditata rapi di atas piring. Ibu hanya memandangku. Ia memang jarang bicara. Dan tak pernah lagi bicara soal ayah sejak itu. Aku melihat tas plastik hitam di dekat meja. Diikat kuat. Seolah ibu tak ingin siapa pun tahu apa isinya.
Ayah tak pernah kelihatan sejak pagi itu. Belakangan aku tahu, ada bekas tanah yang digali di belakang rumah.
Aku menelan ludah.
“Pisau menjadi lebih berbahaya di tangan wanita yang kau sangka lemah,” katanya, sembari menyentuhkan ujung pisau itu tepat di belakang telingaku.
“Aku mungkin akan memotong telingamu lebih dulu.
Kelakar adalah jalan terbaik untuk mengatasi kegugupan. Makanya aku menjawab, “Tak pernah kudengar seorang wanita memotong telinga laki-laki yang dibenci atau dicintainya. Wanita lebih suka memotong bagian lain dari laki-laki…”
Ia mendengus dan menekankan pisau itu lebih kuat, di lekuk belakang telingaku. Aku memejam. Membayangkan jari lentik berkutek merah itu mengiris telingaku. Aku merasakan nafasnya yang hangat. Dan, brengsek, bau tubuhnya yang segar malah membuatku terangsang. Tiba-tiba terbayang buah dadanya yang lebih ranum dari mangga itu. Aku mencoba menguasai diri, dan tersenyum.
“Kenapa tersenyum?”
“Tak apa,” jawabku, masih mencoba berkelakar, “mati dengan kepala disayat perempuan cantik, pastilah jauh lebih menyenangkan ketimbang ditabrak truk.”
“Seperti persetubuhan, pembunuhan kadang tidak memerlukan alasan. Lebih karna gairah.” Lalu ia mengecupku pelan. Seperti kecupan kematian. Dan aku merasa terperangkap dalam kecupan itu.
Seperti kelinci yang menyerah untuk disembelih…
Tapi ini soal menguasai pikiran, batinku. Laki-laki berpetualang karena meuja tubuh. Wanita menyukai petualangan pikiran. Itu sebabnya wanita bisa lebih berbahaya. Karena kesakitan terasa lebih pedih dalam pikiran.
Wanita akan takluk bila kamu mampu melumpuhkan pikirannya, aku mencoba menenangkan diri. Ia mungkin sudah merancang dan membayangkan ini: menyiksaku perlahan-lahan dalam permainan yang memuaskan pikiran liarnya. Ada wanita yang menikmati kesakitan dalam persetubuhan. Kesakitan adalah orgasme pikiran. Memotong telinga laki-laki mungkin sebuah kepuasan tersendiri.
“Aku mengenal banyak laki-laki seperti kamu…”
Suaranya begitu lembut.
***
SUARANYA tidak terdengar membujuk, tapi memikat. Suara wanita yang ketika kau mendengarnya, tak akan mungkin kau abaikan. Seperti ketika malam itu ia menelponku. Kupikir salah sambung, karena momer itu tak kukenal. Ternyata ia memang ingin bertemu. “Akan kuceritakan sebuah kisah untukmu, sembari mengupas mangga..”
Bagaimana mungkin kau mengabaikan suara wanita yang begitu sendu di telepon saat tengah malam seperti itu?
Kami bertemu sesuai janji. Ia seperti kebanyakan perempuan cantik dan wangi yang lalu-lalang di mal Jakarta. Semampai, berambut lurus sebahu dengan kulit putih yang bisa membuat iri para wanita. Aku yakin alis matanya yang rapi sudah tersentuh salon. Matanya yang bersih dan bening mengingatkanku pada mata boneka yang tak mengenal kesedihan. Tapi ada satu hal yang memikat: misterinya.
Ia muncul menenteng tas belanjaan, berisi buah mangga, yang katanya, sengaja dibelinya sebelum menemuiku. Kubayangkan ini akan menjadi petualangan yang menyenangkan: ia mengiris mangga itu menjadi potongan-potongan kecil, kemudian ia berbaring telanjang di atas meja, meletakkan irisan mangga itu di atas tubuhnya, dan memintaku untuk menikmatinya…
“Aku bisa menduga apa yang kamu bayangkan tentang buah mangga ini,” katanya. “Pikiran laki-laki selalu gampang ditebak bila soal wanita. Tidak begitu dengan wanita,” ia mengerdipkan mata.
“Pikiran liar wanita memang jauh lebih sexy dari kecantikannya,” kataku.
Ia tertawa.
***
IA tinggal di apartemen, dengan anjing kecil berbulu putih. Anjing itu langsung menyalak ketika melihatku.
“Pasti cemburu,” katanya mengusap kepala anjing itu. “Ini anjing jantan. Pejantan selalu cemburu pada pejantan!” Anjing itu diam ketika ia memberinya sepotong keju. Ia mengoleskan mentega ke piring poselin, dan anjing itu langsung menjilatinya.
“Orang bijak mengatakan: mendidik anjing lebih mudah, dari pada mendidik laki-laki,” katanya. “Dan saya percaya. Andai laki-laki bisa dididik patuh seperti itu…” Ia melirik ke arahku. “Sekarang, duduklah,” ia menujuk sofa. “Akan kukupas mangga ini. Dan setiap satu mangga terkupas, aku akan melepas pakaianku.”
Lalu ia mulai mengupas. Sambil pelan bercerita. Banyak wanita suka bercerita, pastilah ia salah satunya. Ada wanita yang suka sekali bercerita, agar kau terpikat mendatangi ranjangnya. Ada wanita yang suka sekali bercerita ketika engkau sudah berada di ranjangnya. Apa yang diceritakannya, biarklah kukisahkan nanti. Kini, aku lebih memperhatikan silhuet tubuhnya. Ia membiarkan penutup jeleda terbuka. Aku seperti menyaksikan sebuah panel komik dimana bayangan seorang wanita terlihat berdiri dengan latar belakang kota penuh gedung-gedung menjulang gemerlap oleh cahaya.
Satu buah mangga selesai dikupasnya, dan ia dengan gerakan anggun melepas gaunnya.
Tak ada sentuhan. Tak boleh menyela apa yang diceritakannya. Aku hanya boleh duduk diam menyaksikannya mengupas mangga sambil bercerita.
Lalu satu buah mangga lagi selesai ia kupas, dan ia melepas kutangnya.
Ia mengunyah potongan mangga yang barusan diirisnya (rasanya seperti potongan telingaku yang dikunyahnya) dan apa yang diceritakannya membuat aku mulai gelisah.
Satu buah mangga lagi terkupas, dan ia melepas celananya…
Bila ini permainan yang diinginkan, aku berusaha menikmatinya, sebelum sampai pada yang membuatku begitu gugup – sebagaimana yang sudah kuceritakan di depan – ketika ia menyentuhkan ujung pisau itu ke telingaku.Seperti ahli bedah, dengan pisaunya ia akan membuat garis melintang mengitari kepalaku. Itulah cara terbaik memulai mengupas kulit kepala.
Ia mendekatkan bibirnya ke bibirku. Ciumlah, bisiknya.  Birahi dan kengerian, membuat ciumannya lebih mendebarkan. Ketika tanganku menyentuh pahanya, ia beringsut.
“Cukup untuk malam ini,” ia tersenyum licik. “Pulanglah…”
Aku menarik nafas panjang.
***
KETIKA aku keluar pintu apartemennya, kudengar anjing itu terus menyalak. Ini akan jadi malam tanpa persetubuhan yang tak akan terlupakan. Kini, seperti yang kujanjikan, kuceritakan padamu apa yang tadi ia ceritakan.
Ia bercerita tentang seorang istri yang begitu mempercayai suaminya sebagai laki-laki setia. Istri itu percaya, bahwa cinta bisa dipertahankan dengan kesetiaan. Tapi akhirnya ia tahu, mempercayai laki-laki sama saja dengan mempercayai nasib buruk. Lalu istri itu membuat perjanjian dengan suaminya: siapa yang tak setia, akan dipotong jarinya.
“Kau pasti sudah menebaknya,” katanya. “Istri itu akhirnya tahu, suaminya tak setia. Maka ia pun memotong jari manis lelaki itu.
Suatu pagi, si suami melihat istrinya mengupas mangga. Lalu si istri menyajikan jus mangga itu untuk suaminya.
“Ini jus mangga paling enak,” kata suaminya mesra.
Kau tahu, jari yang dipotong itu tak dibuang atau disimpan sebagai kenang-kenangan. Tapi dimasukkan dalam blender. Bayangkan, potongan jari yang diblender dan dicampur mangga, menjadi jus. Suami itu tak pernah mengetahuinya.
 ***
DI taksi, dalam perjalanan pulang, aku memejam mengingat cerita wanita itu. Tanpa sadar tanganku meraba jari manisku, yang tak ada.
Jakarta, 2013
*Cerpen ini pertama kali terbit di majalah Esquire, September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar