Sabtu, 26 Oktober 2013

Senyum Itu Bukan Ibadah


Suatu ketika saya berkunjung ke rumah sakit. Saya lupa untuk tujuan apa waktu itu. Kemungkinan besar untuk menengok seseorang yang sedang sakit. Saya bilang kemungkinan besar karena saya termasuk orang yang jarang pergi berobat, termasuk berobat ke rumah sakit. Lagipula kan memang tidak ada keharusan untuk seseorang pergi berobat ke rumah sakit. Presiden aja kalo sakit nggak berobat ke rumah sakit kok. Malah orang rumah sakit yang ke rumah presiden. Jadi kan memang tidak harus. Yang ada cuma anjuran. Anjuran itu tidak harus. Kalau anjuran itu harus berarti namanya bukan anjuran. Namanya wajib. Seperti wajib militer misalnya. Wajib militer berarti keharusan untuk jadi militer. Makanya semua orang jadi nurut, kecuali Muhammad Ali. Kenapa beliau itu nggak mau nurut?. Mana saya tahu soal itu.
Waktu di rumah sakit saya bertemu dengan seseorang. Bukan. Bukan Muhammad Ali kok. Muhammad Ali di Amerika. Saya ke rumah sakit di Indonesia. Nggak mungkin mas Muhammad Ali mau ke rumah sakit Indonesia. Tapi di rumah sakit itu ada yang menempelkan pin di dadanya. Sebuah pin dengan tulisan senyum kami dari hati. Wah saya jadi bertanya-tanya, tentu kepada diri saya sendiri. Apakah mereka sedang menyindir saya? Apa mereka mengira senyum saya nggak dari hati?. Karena tadi saya bertanya-tanya kepada diri sendiri ya saya jawab sendiri juga.
sama dong kita. Senyum akyu juga dari hati lho.
Begitu jawaban saya. Pasti orang itu nggak dengar. Pasti itu. Tapi setidaknya dia lihat saya tersenyum. Saya mau beribadah, makanya saya tersenyum. Lumayanlah. Saat itu saya pasti dapat pahala.
Ini soal senyum adalah ibadah. Ini kan sebetulnya sebuah ungkapan filosofis yang menandakan kerelaan kita untuk membuka diri terhadap kemungkinan komunikasi dengan orang lain di sekitar kita. Menyimpan senyum berarti juga menutup kemungkinan komunikasi sosial. Selain sebagai ungkapan, ini juga anjuran, semacam tindak lanjut dari fitrah kesosialan manusia sebagaimana disyaratkan oleh agama-agama besar di dunia.
Senyum itu dahsyat lho. Sejauh ini, belum pernah saya mendengar seseorang mengeluh atau mengalami kesulitan bergaul karena senyumnya meski pada suatu waktu senyum tentu saja juga berpotensi jadi masalah kalau ditempatkan dalam situasi yang kurang pas, misalnya ketika calon mertua jatuh terpeleset di hadapan kita dengan hidung mendarat duluan di lantai atau atasan di kantor terjerembab dari kursi kerjanya lantaran terlalu dalam menyandarkan punggungnya padahal ia baru saja mengusulkan promosi buat kita. Kalau untuk dua sebab ini anda masih sanggup tersenyum, kesimpulan saya anda pasti orang yang sangat senang mengambil resiko yang tidak perlu sekalipun.
Di zaman yang sudah banyak berdaptasi dengan berbagai konvensi sosial seperti sekarang ini (maafkan bahasa saya), ungkapan senyum adalah ibadah ibarat anjuran usang yang telah ditinggalkan makna fundamentalnya. Yang sering kita temukan hari ini, justru sebuah kehendak baru yang meletakkan senyum sebagai sebuah aturan. Di masa kini, senyum adalah aturan marketing. Senyum juga adalah aturan kepegawaian dan kekaryawanan.
Senyum bahkan telah mampu menggerakkan syaraf psikomotorik kita agar mengambil suatu keputusan yang, entah itu penting atau tidak, cukup bisa berpengaruh dalam kelangsungan prosesi hidup kita di menit berikutnya. Seorang sales promotion girl (SPG) yang datang dan menyapa kita sambil menawarkan rokok dengan senyuman terbaiknya hari itu dapat dengan seketika mempengaruhi kita. Inilah kan senyum marketing. Begitupun kalau kita suatu saat sedang bermalam di hotel atau belanja di mall. Sejak di pintu depan, kita akan langsung disambut senyuman terbaik karyawannya hari itu. Sungguh. Senyum itu bukan ibadah. Bah, saya nggak mau senyum seperti ini. Pasti nggak dapat pahala. Paling banter ya dapat tip. Kalau lebih beruntung lagi ya kemungkinan dapat kenalan baru. Tapi buat apa dapat kenalan baru kalau nggak berpahala ya?. Iya. Mungkin itu juga sebabnya sekarang muncul buku yang judulnya agak mengajak kita atau tepatnya mengompori -ah jangan pakai kata ini nanti diartikan memberi kompor- menghasut kita secara intelektual untuk tidak jadi karyawan seumur hidup kita. Nah, mungkin yang membuat buku ini yang malah dapat pahala. Sudah ah. Sudah terlalu banyak kata mungkin yang saya tulis. Nanti malah tulisan ini mungkin kelihatan cerdas. 

http://arungnala.blogdetik.com/index.php/category/tak-berkategori/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar